Senin, 05 November 2012

 Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Selalu Berpindah-Pindah, Seperti Kawali Yang Juga Pernah Dijadikan Sebagai Ibu Kota Kerajaan Pajajaran. Keturunan Manarah Dalam Garis Turunan Laki-Laki Terputus Sehingga Pada Tahun 852 Tahta Galuh Jatuh Kepada Keturunan Banga, Yaitu Rakeyan Wuwus Yang Beristrikan Puteri Keturunan Galuh. Sebaliknya Adik Perempuan Rakeyan Wuwus Menikah Dengan Putera Galuh Yang Kemudian Menggantikan Kedudukan Iparnya Sebagai Raja Sunda IX Dengan Gelar Prabu Darmaraksa Buana.

  Kehadiran Orang Galuh Sebagai Raja Sunda Di Pakuan Waktu Itu Belum Dapat Diterima Secara Umum, Hal Ini Dapat Dimaklumi Karena Sama Halnya Dengan Kehadiran Sanjaya Dan Tamperan Sebagai Orang Sunda Di Galuh. Bahkan Prabu Darmaraksa [ 891 - 895 ] Tewas Dibunuh Oleh Seorang Menteri Sunda Yang Sangat Fanatik Akan Hal Ini. Setelah Peristiwa Itu, Tiap Raja Sunda Yang Baru Pastilah Akan Selalu Memperhitungkan Tempat Kedudukan Yang Akan Dipilihnya Menjadi Pusat Pemerintahan. Dengan Demikian, Pusat Pemerintahan Itu Berpindah-Pindah Dari Barat Ke Timur Dan Sebaliknya. Antara Tahun 895 Sampai Tahun 1311 Kawasan Jawa Barat Diramaikan Sewaktu-Waktu Oleh Iring-Iringan Rombongan Raja Baru Yang Berpindah Tempat.

  Ayah Sri Jayabupati Berkedudukan Di Galuh, Sri Jayabupati Di Pakuan, Tetapi Puteranya Berkedudukan Di Galuh Lagi. Dua Raja Berikutnya [ Raja Sunda Ke-22 Dan Ke-23 ] Memerintah Kembali Di Pakuan. Raja Ke-24 Memerintah Di Galuh Dan Raja Ke-25, Yaitu Prabu Guru Darmasiksa Mula-Mula Berkedudukan Di Saunggalah, Kemudian Pindah Lagi Ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, Berkedudukan Di Saunggalah. Proses Kepindahan Seperti Ini Memang Merepotkan, Namun Pengaruh Positifnya Jelas Sekali Dalam Hal Pemantapan Etnik Di Jawa Barat. Antara Galuh Dengan Sunda Memang Terdapat Kelainan Dalam Hal Tradisi.